berita industri otomotif indonesia 2024

Persaingan di Industri Otomotif: Pro dan Kontra Perjanjian Eksklusivitas ATPM

Jakarta, 11 Desember 2024 — Persaingan adalah elemen krusial dalam dunia industri, termasuk sektor otomotif. Tanpa persaingan sehat, inovasi dan pertumbuhan pasar menjadi sulit tercapai. Namun, praktik persaingan tidak sehat, seperti oligopoli, dapat menjadi ancaman serius.

Dalam industri otomotif Indonesia, perjanjian eksklusivitas yang diterapkan oleh Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) belakangan menuai kritik dari sejumlah dealer. Mereka menilai kebijakan tersebut membatasi peluang investasi baru dan memperkecil ruang gerak kompetisi pasar.

Mone Stepanus, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyoroti risiko besar dari perjanjian ini. Menurutnya, praktik tersebut berpotensi menyebabkan stagnasi inovasi produk serta melemahkan daya saing industri otomotif nasional di pasar global.

“Praktik ini menyebabkan stagnasi dalam inovasi produk, serta memperkecil daya saing industri otomotif Indonesia di kancah internasional,” ujar Mone, dalam keterangan resmi pada Rabu (11/12).

Pentingnya Peran KPPU

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, menegaskan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki peran sentral dalam menjaga persaingan industri yang sehat. Menurutnya, langkah strategis diperlukan untuk mengatasi praktik oligopoli yang dapat menghambat kemunculan pemain baru.

“Supaya kompetitif, pertama agar investasi di sektor otomotif jauh lebih banyak, pabrikan lebih banyak. Hambatan-hambatan untuk investasi di bidang otomotif harus diperluas,” tegas Tauhid.

Namun, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto, menyatakan bahwa asosiasinya tidak berwenang membahas kebijakan eksklusivitas ATPM. Menurutnya, isu ini berada di luar lingkup Gaikindo dan lebih bersifat strategi bisnis masing-masing perusahaan.

Secara hukum, perjanjian eksklusivitas dinilai bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Khususnya, Pasal 19 poin (a) dan (d), yang melarang praktik usaha yang dapat mengakibatkan oligopoli atau diskriminasi.

Desakan kepada KPPU

Sutrisno Iwantono, konsultan hukum persaingan usaha sekaligus pendiri Iwant & Co Antimonopoly Counselor, menilai perlunya tindakan tegas dari KPPU. Menurutnya, KPPU seringkali tidak responsif terhadap dinamika pasar yang cepat, sehingga penanganan kasus menjadi terlambat.

“Kondisi ini menyebabkan mereka sering terlambat dalam mengatasi masalah. Ini tentu membuat penanggulangannya menjadi lebih sulit,” ujar Sutrisno.

Ia juga mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk melapor. Tanpa laporan resmi, KPPU akan kesulitan mengidentifikasi dan menangani kasus.

“Jika dealer merasa dirugikan, mereka seharusnya tidak ragu untuk melapor. Ini bukan hanya soal etika, tetapi juga tentang keadilan,” tegasnya.

Wakil Ketua KPPU, Aru Amando, menambahkan bahwa lembaganya akan mengkaji lebih dalam perjanjian eksklusivitas yang dinilai bermasalah.

“KPPU akan sangat terburu-buru kalau mengatakan ini salah, ini benar, tanpa melihat isi di dalam perjanjiannya itu seperti apa,” ujar Aru.

Sikap Pelaku Industri

Di sisi lain, sejumlah ATPM menanggapi isu ini dengan hati-hati. Direktur Marketing PT Toyota Astra Motor (TAM), Anton Jimmy Suwandi, memilih untuk tidak berkomentar. Sementara itu, Direktur Marketing PT Suzuki Indomobil Sales, Donny Saputra, membantah adanya perjanjian eksklusivitas yang melanggar aturan.

“Faktanya, tidak ada dealer yang hanya menjual satu merek saja,” ujar Donny.

Meski demikian, polemik ini menegaskan pentingnya transparansi dan pengawasan untuk menciptakan ekosistem industri yang lebih sehat. Apakah langkah KPPU dapat menjawab tantangan ini? Waktu yang akan menjawab.

(medcom)

Scroll to Top